Rabu, 21 Mei 2008

peristiwa mediun dan g30s/pki

Peristiwa Madiun Dan G30S/PKI
Senin, 01 Oktober 2007 01:38 WIB
Ada sejumlah buku pelajaran sekolah, kurikulum 2004, tidak menyebut

pemberontakan Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso di Madiun tahun

1948, dan Gerakan 30 September tahun 1965 tanpa menyebutkan PKI sesudah

kata G30S. Hal ini telah menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh pelaku

sejarah saat melawan gerakan PKI sejak 1964, 1965 dan 1966, seperti

Yusuf Hasyim (alm), Taufik Ismail dan sejumlah tokoh yang lain.

Beberapa waktu yang lalu mereka menjumpai Ketua DPRRI, menyampaikan

reaksi, keprihatinan dan protes mereka karena sejumlah buku pelajaran

sekolah kurikulum 2004 yang diterbitkan di Jawa Timur sama sekali tidak

menyebut 'Peristiwa Madiun dan G.30.S tanpa menyebut PKI'.

WASPADA Online




Oleh Muhammad TWH




Ada sejumlah buku pelajaran sekolah, kurikulum 2004, tidak menyebut pemberontakan Partai Komunis Indonesia
pimpinan Muso di Madiun tahun 1948, dan Gerakan 30 September tahun 1965 tanpa menyebutkan PKI sesudah kata
G30S. Hal ini telah menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh pelaku sejarah saat melawan gerakan PKI sejak 1964, 1965
dan 1966, seperti Yusuf Hasyim (alm), Taufik Ismail dan sejumlah tokoh yang lain. Beberapa waktu yang lalu mereka
menjumpai Ketua DPRRI, menyampaikan reaksi, keprihatinan dan protes mereka karena sejumlah buku pelajaran
sekolah kurikulum 2004 yang diterbitkan di Jawa Timur sama sekali tidak menyebut 'Peristiwa Madiun dan G.30.S tanpa
menyebut PKI'. Protes taufik Ismail mendapat respons dari Ketua DPRRI memanggil Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) menanyakan mengenai hal tersebut. Kemudian dibicarakan dalam Rapat Kerja Kesra yang dipimpin oleh
Aburizal Bakri.




Taufik Ismail yang menjumpai ketua DPR RI adalah seorang tokoh 66, yang terkenal dan dikenal dengan antologinya
'Tirani dan Benteng', dalam buku kumpulan puisinya yang ditulis antara tahun 1960 dan 1966 memuat fakta-fakta berupa
foto-foto bersejarah mengenai perlawanan terhadap gerakan PKI yang bermaksud menggantikan Pancasila dan ideologi
komunis. Memang peristiwa Madiun telah 49 tahun berlalu. Gerakan 30 September telah pula menginjak waktu 42
tahun. Kedua peristiwa itu adalah 'lembaran hitam' perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kedua peristiwa itu adalah
dokumen sejarah, kalau boleh kita mengutip kata-kata Jacques Baineville yang menyatakan 'No Document no history'
tidak ada dokumen tidak ada sejarah. Sedangkan peristiwa kudeta yang terjadi di Madiun 1948 dan kup berdarah di
Jakarta 1965 adalah merupakan suatu dokumen yang tidak akan lapuk oleh hujan dan tidak akan lekang oleh panas dari
ingatan bangsa Indonesia.




Apa itu peristiwa Madiun?


Peristiwa Madiun adalah peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dilenyapkan dalam lembaran
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Betapa tidak, pada 18 September 1948 PKI/Muso melakukan kup berdarah di
Madiun. Memproklamirkan 'Negara Suyet Republik Indonesia' dan menaikkan bendera merah. Kolonel Djokosujono
diangkat oleh PKI menjadi Gubernur Militer Madiun. Pasukan-pasukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan PKI (Partai
Komunis Indonesia) merebut objek-objek vital kantor pos, telepon, Markas Sub Teritorial Komando Madiun dan lain
pejabat-pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang anti PKI dengan cara kejam dan mengerikan.




Terhadap proklamasi PKI itu Presiden Soekarno bertindak cepat dan berpidato melalui RRI Yogyakarta yang disiarkan
secara sentral agar rakyat memilih Soekarno-Hatta atau ikut Muso dengan PKI-nya. Setelah mempelajari dengan
seksama rakyat ternyata memilih Soekarno-Hatta, maka TNI segera digerakkan untuk melakukan penumpasan.
Pasukan yang digerakkan itu terdiri dari Brigade Sadikin, Brigade Surakhmat, Brigade Kusno Utomo, dan lain-lain.
Pemberontakan PKI Muso di Madiun berhasil ditumpas dalam waktu yang tidak begitu lama, TNI mendapat dukungan
sepenuhnya dari rakyat.




Waspada Online
http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 22 May, 2008, 11:32

Tidak ada komentar: